Oleh : Farida Puji M. / 146154 / 2014-B
Bahasa merupakan alat komunikasi
yang terpenting dalam kehidupan, bahasa dapat digunakan untuk melakukan tindak
tutur. Mengapa hal ini dikatakan demikian? karena orang berbagi kaidah yang
dapat melaporkan atau mengungkapkan tindak tuturan tersebut sebagai laporan
yang bersifat performatif non-direktif, di mana mereka terlibat dalam suatu
kondisi tertentu. Kaidah dan kondisi
mengenai pengetahuan linguistik dan pengetahuan tentang dunia yang
mengikuti adanya suatu perangkat linguistik tertentu mengindikasi daya ilokusi.
Dua pengetahuan tersebut mengetahui bagaimana interaksi orang yang satu dengan
yang lain, dapat diasumsikan sebagai
bagian dari kompetensi. Dengan fokus kajian mengenai mereka tuturan
sebagai tindak, maka teori tindak tutur ada beberapa ancangan analisis mengenai
wacana. Berikut adalah kajian wacana menurut Deborah (2007:181-405):
1.
Teori
tindak tutur sebagai ancangan wacana.
Teori tindak tutur secara mendasar ditekankan apakah
manusia “melakukan” bahasa dengan fungsi-fungsi bahasa secara tipikal, fungsi
tersebut semua bersanak pada tujuan-tujuan komunikatif yang dapat ditandai,
direalisasikan dalam sebuah kalimat tunggal. Bahkan tindak tutur tidak langsung
(semua yang dibentuk “melalui cara” tindak lain). Bahasa dapat digunakan untuk
tindak tutur sebab orang ikut terlibat dalam hal melaporkan suatu tindakan.
Tindak tutur yang dilangsungkan dengan kalimat
performatif oleh Austin (1962: 100-102) dirumuskan sebagai tiga peristiwa
tindakan yang berlangsung sekaligus, yaitu:
a. Tindak tutur lokusi, yakni tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam
arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat
dipahami (pernyataan).
Contoh : ‘Saya lapar’, seseorang
mengartikan ‘Saya’ sebagai orang pertama tunggal (si penutur), dan ‘lapar’
mengacu pada ‘perut kosong dan perlu diisi’, tanpa bermaksud untuk meminta
makanan.
b. Tindak tutur ilokusi, adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan
dengan kalimat performatif yang eksplisit. Tindak tutur ilokusi biasanya
berkenaan dengan pemberian izin, mengucapkan terima kasih, menyuruh,
menawarkan, dan menjanjikan. Kalau tindak tutur ilokusi hanya berkaitan dengan
makna, maka makna tindak tutur ilokusi berkaitan dengan nilai, yang dibawakan
oleh preposisinya.
Contohnya: “ Sudah hampir pukul
tujuh.” Kalimat di atas bila dituturkan oleh seorang suami kepada istrinya di
pagi hari, selain memberi informasi tentang waktu, juga berisi tindakan yaitu
mengingatkan si istri bahwa si suami harus segera berangkat ke kantor, jadi
minta disediakan sarapan. Oleh karena itu, si istri akan menjawab mungkin
seperti kalimat berikut, “Ya Pak! Sebentar lagi sarapan siap.”
c. Tindak tutur perlokusi, adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya
ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistic dari orang
lain itu.
contohnya, di sini panas. Berdasarkan
konteks tertentu (udara panas, berada dalam ruangan yang jendela dan pintu
tertutup semua), maka hasil yang akan diperoleh adalah jendela akan dibuka
lebar-lebar atau tidak dihiraukan sama sekali.
2.
Sosiolinguistik
interaksional sebagai ancangan wacana.
Sosiolinguistik interaksional memberikan sebuah
ancangan wacana yang berfokus pada peletakan makna. Ancangan ini diambil oleh
para sarjana dengan menggabungkan gagasan antropolog John Gumperz dan sosiolog
Erviang Goffman. Melalui apa yang dikontribusikan Gumperz ke dalam ancangan ini
ialah sebagai konsep dan peranti yang memberikan kerangka kerja di dalam
analisis yang menggunakan bahasa sebagai komunikasi interpersonal; Gumperz
memandang bahasa secara sosial dan kultural sebagai konstruk sistem simbol yang
merefleksikan dan menciptakan level makro makna sosial dan level mikro makna
interpersonal. Penutur menggunakan bahasa untuk memberikan keberlangsungan
indikasi dari siapa mereka dan bagi mereka yang menginginkan komunikasi
mengenai apa.
Contoh kalimat “Ia sedang diet” dengan menggunakan
cara yang berbeda: di sini diawali dengan cara melokasikan dalam struktur
tindakan, kemudian mempertimbangkan peran dalam kerangka kerja partisipan di
dalam level mikro sebuah interaksi dan sebagai strategi keterlibatan dasar
gender. Analisis ini memandang bertutur untuk orang lain sebagai strategi
wacana yang digunakan oleh laki-laki dan wanita untuk dapat merealisasikan
perbedaan tujuan interaksional sebagai isyarat kontekstualisasi melalui isyarat
identitas.
3.
Pragmatik
model Grice sebagai sebuah ancangan wacana.
Gagasan Grice mengenai makna penutur dan prinsip
kerja sama, yang selanjutnya mengaplikasikan gagasan tersebut untuk masalah
khusus: kami sudah menggunakan PK (secara khusus, maksim kuantitas dan
relevansi) untuk mendeskripsikan kondisi orang yang menggunakan ekspresi
berbeda untuk maksud komunikasi referensial dalam wacana. Dapat dikatakan bahwa
tahapan acuan merupakan hasil yang secara pragmatik didasarkan pada tekanan
ketentuan, dan jika ketepatan kuantitas informasi dalam cara-cara yang relevan,
dan apabila struktur wacana diciptakan (dalam bagian) melalui prinsip kerja
sama.
4.
Ancangan
wacana analisis variasi.
Ancangan wacana variasionis berasal dari studi
kuantitatif perubahan dan variasi linguistik. Walaupun analisis tersebut secara
tipikal berfokus pada pembatasan-pembatasan sosial dan linguistik pada varian
ekuivalen secara semantik, ancangan tersebut dapat diperluas ke arah teks.
Dalam pembahasan ini dapat diilustrasikan perluasan pada dua level analisis yang
berbeda:membandingkan tipe teks dan menganalisis variasi di dalam teks.
Membandingkan struktur naratif dan daftar tekstual. Di sini dapat dilihat
bahwasanya unit dasar narasi ialah peristiwa;unit dasar daftar adalah kesatuan.
Informasi utama struktur narasi adalah temporal dan evaluatif;informasi utama
daftar adalah deskriptif. Pembandingan tersebut merefleksikan tendensi
variasionis terhadap tuturan wacana dalam istilah sama yang digunakan dengan
orientasi linguistik secara struktural.
DAFTAR
RUJUKAN
Schiffrin,
Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana. Yogyakarta:
Pustaka Belajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar