Sabtu, 01 Juli 2017

KAJIAN WACANA BAHASA INDONESIA


Oleh : Farida Puji M. / 146154 / 2014-B

            Bahasa merupakan alat komunikasi yang terpenting dalam kehidupan, bahasa dapat digunakan untuk melakukan tindak tutur. Mengapa hal ini dikatakan demikian? karena orang berbagi kaidah yang dapat melaporkan atau mengungkapkan tindak tuturan tersebut sebagai laporan yang bersifat performatif non-direktif, di mana mereka terlibat dalam suatu kondisi tertentu. Kaidah dan kondisi  mengenai pengetahuan linguistik dan pengetahuan tentang dunia yang mengikuti adanya suatu perangkat linguistik tertentu mengindikasi daya ilokusi. Dua pengetahuan tersebut mengetahui bagaimana interaksi orang yang satu dengan yang lain, dapat diasumsikan sebagai  bagian dari kompetensi. Dengan fokus kajian mengenai mereka tuturan sebagai tindak, maka teori tindak tutur ada beberapa ancangan analisis mengenai wacana. Berikut adalah kajian wacana menurut Deborah (2007:181-405):
1.      Teori tindak tutur sebagai ancangan wacana.
Teori tindak tutur secara mendasar ditekankan apakah manusia “melakukan” bahasa dengan fungsi-fungsi bahasa secara tipikal, fungsi tersebut semua bersanak pada tujuan-tujuan komunikatif yang dapat ditandai, direalisasikan dalam sebuah kalimat tunggal. Bahkan tindak tutur tidak langsung (semua yang dibentuk “melalui cara” tindak lain). Bahasa dapat digunakan untuk tindak tutur sebab orang ikut terlibat dalam hal melaporkan suatu tindakan.
Tindak tutur yang dilangsungkan dengan kalimat performatif oleh Austin (1962: 100-102) dirumuskan sebagai tiga peristiwa tindakan yang berlangsung sekaligus, yaitu:
a.       Tindak tutur lokusi, yakni tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami (pernyataan).
Contoh : ‘Saya lapar’, seseorang mengartikan ‘Saya’ sebagai orang pertama tunggal (si penutur), dan ‘lapar’ mengacu pada ‘perut kosong dan perlu diisi’, tanpa bermaksud untuk meminta makanan.
b.      Tindak tutur ilokusi, adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan kalimat performatif yang eksplisit. Tindak tutur ilokusi biasanya berkenaan dengan pemberian izin, mengucapkan terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan. Kalau tindak tutur ilokusi hanya berkaitan dengan makna, maka makna tindak tutur ilokusi berkaitan dengan nilai, yang dibawakan oleh preposisinya.
Contohnya: “ Sudah hampir pukul tujuh.” Kalimat di atas bila dituturkan oleh seorang suami kepada istrinya di pagi hari, selain memberi informasi tentang waktu, juga berisi tindakan yaitu mengingatkan si istri bahwa si suami harus segera berangkat ke kantor, jadi minta disediakan sarapan. Oleh karena itu, si istri akan menjawab mungkin seperti kalimat berikut, “Ya Pak! Sebentar lagi sarapan siap.”
c.       Tindak tutur perlokusi, adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistic dari orang lain itu.
contohnya, di sini panas. Berdasarkan konteks tertentu (udara panas, berada dalam ruangan yang jendela dan pintu tertutup semua), maka hasil yang akan diperoleh adalah jendela akan dibuka lebar-lebar atau tidak dihiraukan sama sekali.
2.      Sosiolinguistik interaksional sebagai ancangan wacana.
Sosiolinguistik interaksional memberikan sebuah ancangan wacana yang berfokus pada peletakan makna. Ancangan ini diambil oleh para sarjana dengan menggabungkan gagasan antropolog John Gumperz dan sosiolog Erviang Goffman. Melalui apa yang dikontribusikan Gumperz ke dalam ancangan ini ialah sebagai konsep dan peranti yang memberikan kerangka kerja di dalam analisis yang menggunakan bahasa sebagai komunikasi interpersonal; Gumperz memandang bahasa secara sosial dan kultural sebagai konstruk sistem simbol yang merefleksikan dan menciptakan level makro makna sosial dan level mikro makna interpersonal. Penutur menggunakan bahasa untuk memberikan keberlangsungan indikasi dari siapa mereka dan bagi mereka yang menginginkan komunikasi mengenai apa.
Contoh kalimat “Ia sedang diet” dengan menggunakan cara yang berbeda: di sini diawali dengan cara melokasikan dalam struktur tindakan, kemudian mempertimbangkan peran dalam kerangka kerja partisipan di dalam level mikro sebuah interaksi dan sebagai strategi keterlibatan dasar gender. Analisis ini memandang bertutur untuk orang lain sebagai strategi wacana yang digunakan oleh laki-laki dan wanita untuk dapat merealisasikan perbedaan tujuan interaksional sebagai isyarat kontekstualisasi melalui isyarat identitas.
3.      Pragmatik model Grice sebagai sebuah ancangan wacana.
Gagasan Grice mengenai makna penutur dan prinsip kerja sama, yang selanjutnya mengaplikasikan gagasan tersebut untuk masalah khusus: kami sudah menggunakan PK (secara khusus, maksim kuantitas dan relevansi) untuk mendeskripsikan kondisi orang yang menggunakan ekspresi berbeda untuk maksud komunikasi referensial dalam wacana. Dapat dikatakan bahwa tahapan acuan merupakan hasil yang secara pragmatik didasarkan pada tekanan ketentuan, dan jika ketepatan kuantitas informasi dalam cara-cara yang relevan, dan apabila struktur wacana diciptakan (dalam bagian) melalui prinsip kerja sama.
4.      Ancangan wacana analisis variasi.
Ancangan wacana variasionis berasal dari studi kuantitatif perubahan dan variasi linguistik. Walaupun analisis tersebut secara tipikal berfokus pada pembatasan-pembatasan sosial dan linguistik pada varian ekuivalen secara semantik, ancangan tersebut dapat diperluas ke arah teks. Dalam pembahasan ini dapat diilustrasikan perluasan pada dua level analisis yang berbeda:membandingkan tipe teks dan menganalisis variasi di dalam teks. Membandingkan struktur naratif dan daftar tekstual. Di sini dapat dilihat bahwasanya unit dasar narasi ialah peristiwa;unit dasar daftar adalah kesatuan. Informasi utama struktur narasi adalah temporal dan evaluatif;informasi utama daftar adalah deskriptif. Pembandingan tersebut merefleksikan tendensi variasionis terhadap tuturan wacana dalam istilah sama yang digunakan dengan orientasi linguistik secara struktural.

DAFTAR RUJUKAN
Schiffrin, Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana. Yogyakarta: Pustaka Belajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar