Oleh : Farida Puji M. / 146154 / 2014-B
Kata
wacana berasal dari bahasa Sanskerta yaitu vacana yang berarti bacaan, kemudian dalam
bahasa Jawa menjadi wacana yang artinya bicara, kata, ucapan dan dalam bahasa
Indonesia menjadi wacana yaitu ucapan, percakapan (Baryadi, 2001:3). Menurut Djajasudarma
(1994:2), wacana merupakan satuan gramatikal tertinggi yang dituangkan dalam
bentuk karangan yang utuh dengan adanya amanat yang lengkap, serta memiliki
kohesi dan koherensi yang tinggi. Dapat berupa novel, buku, seri ensiklopedia,
paragraf, kalimat, atau dapat berupa kata yang dapat membawa pesan yang
lengkap. Wacana dapat dituangkan dalam
bentuk karangan yang utuh. Sebuah wacana dapat dikatakan utuh apabila wacana
tersebut mempertimbangkan segi isi dari sebuah
informasi (koheren) dan mempertimbangkan adanya keruntutan unsur
bentuk (kohesif).
Menurut
Samsuri dalam Djajasudarma (1994:4) wacana dapat pula dikatakan sebagai rekaman
mengenai kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi, dapat berupa bahasa
lisan dan dapat pula berupa tulisan. Dalam wacana lisan dibutuhkan adanya
pembicara dan pendengar, sedangkan dalam wacana tulis dibutuhkan adanya penulis
dan pembaca. Wacana mempelajari bahasa dalam pemakaian, jadi bersifat
pragmatik. Pemahaman wacana di sini lebih menitik beratkan pada hasil yaitu
rekaman yang berupa kebahasaan yang utuh dalam peristiwa komunikasi baik itu
secara lisan ataupun tulisan.
Menurut
Tarigan (1987:27), wacana merupakan satuan bahasa terlengkap dan tertinggi di
atas kalimat dengan adanya kohesi dan koherensi yang berkesinambungan yang
mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata serta disampaikan secara lisan atau
tulisan. Wacana di sini lebih mengacu pada kohesi dan koherensi, di mana kohesi
sendiri merupakan keserasian hubungan unsur-unsur dalam sebuah wacana dan
koherensi merupakan kepaduan wacana sehingga komunikatif mengandung satu ide.
Dari
beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwasanya wacana
merupakan satuan gramatikal tertinggi yang diwujudkan dalam suatu bahasa dalam
bentuk lisan maupun tulisan yang keberadaannya selalu menyatu dengan konteks
dan situasi.
Secara
struktural analisis wacana juga berkaitan dengan kajian interdisipliner,
seperti sosiolinguistik, psikolinguistik, dan filsafat bahasa (Oka dan Suparno,
1994:263). Kaitan ini dapat diterima karena analisis wacana berkembang
sedemikian rupa, sehingga keberadaannya memang melibatkan beberapa kajian lain.
Para sosiolinguis memperhatikan yang berhubungan dengan interaksi sosial,
terkait pula dengan penggunaan bahasa di masyarakat. Ancangan Harris berupaya
memperluas ancangan teoritis dan metodologi dari strukturalisme linguistik,
tidak hanya karena ancangan ini memperluas konsep unit linguistik ke tingkat
lain, tetapi hal ini berhubungan dengan ancangan yang secara metodologis
bergantung pada struktural tingkat lebih rendah untuk dapat diidentifikasi
konstituen tingkat lebih tinggi:konstituen wacana adalah morfem
(kata-kata,frasa-frasa) yang dapat diidentifikasi melalui analisis gramatikal.
Analisis
wacana dengan sosiolinguistik, Wijana (2006:7) mengungkapkan bahwa
sosiolinguistik sebagai cabang linguistik memandang atau menempatkan kedudukan
bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa di dalam masyarakat, karena
dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai individu, akan tetapi
sebagai masyarakat sosial.
Hubungannya dengan wacana adalah baik wacana maupun sosiolinguistik sama-sama menitik beratkan bahasa dalam sebuah konteks. Perbedaannya adalah wacana mengkaji ujaran (bahasa) yang dihasilkan oleh masyarakat sedangkan sosiolinguistik menitik beratkan pada masyarakat pengguna bahasa.
Hubungannya dengan wacana adalah baik wacana maupun sosiolinguistik sama-sama menitik beratkan bahasa dalam sebuah konteks. Perbedaannya adalah wacana mengkaji ujaran (bahasa) yang dihasilkan oleh masyarakat sedangkan sosiolinguistik menitik beratkan pada masyarakat pengguna bahasa.
Analisis
wacana merupakan suatu analisis mengenai bahasa yang digunakan. Tujuan analisis
wacana ialah untuk memeriksa wacana (sebagai salah satu eksponen bahasa) dalam
fungsinya sebagai alat komunikasi, meletakkan titik berat pada fungsi bahasa
sebagai alat interaksi antara penulis dan pembaca atau antara pembicara dan
pendengar. Analisis wacana juga dipandang sebagai studi tentang struktur pesan
dalam komunikasi. Jadi, fungsi bahasa sebagai alat komunikasi semakin tampak
terwadahi dengan adanya analisis wacana. Penyebutan komunikasi di sini tentu
berorientasi pada keberadaan bahasanya, bukan komunikasi dalam arti umum.
Sebab, komunikasi dalam arti umum bisa saja dilakukan tidak dengan menggunakan
bahasa sebagaimana layaknya. Komunikasi dapat terjadi dengan isyarat tertentu
yang mungkin jauh kaitannya dengan bahasa. Penggunaan bahasa dalam komunikasi
pasti disertai dengan konteks. Karena itu, salah satu titik perhatian analisis
wacana adalah teks dan konteks (Sobur, 2002:56).
Keragaman
penjelasan tentang analisis wacana muncul karena dilatarbelakangi oleh fokus
pandangan terhadap wacana. Para ahli linguistik dan ahli filsafat kebahasaan
cenderung untuk memakai pendekatan yang terbatas sekali terhadap fungsi-fungsi
bahasa dalam masyarakat. Oleh karena itu, analisis wacana dalam perspektif
kajian bahasa memiliki kekhasan tersendiri. Analisis wacana bagaimanapun
merupakan bagian dari berbagai bentuk kajian terhadap bahasa. Kajian bahasa
telah dilakukan oleh para linguis dari berbagai sudut pandang.
Cerpen
berjudul “Dari Paris”, mengenai analisis situasi dalam cerpen ini dapat dilihat
pada kutipan berikut: “Pak Kasim, seorang pensiunan guru yang telah renta,
sangat mendambakan anaknya Alwi, anak lelaki satu-satunya, untuk pulang ke
Sumatera. Lebih dari sepuluh tahun Alwi tak pulang ke rumah. Walaupun pak Kasim
agak kecewa dengan keadaan itu, toh ia selalu membanggakan anaknya itu di depan
teman-teman ngobrolnya di warung kopi Jalil. Pak Kasim akhirnya meninggal
setelah mengalami masa kritis yang memuncak. Pak Kasim terlalu berat menanggung
beban kerinduan kepada Alwi yang telah lama dipendamnya. Disebabkan
perbincangan dengan Tan Marajo telah melukai hatinya. Mengapa cerpen dapat
dikatakan sebagai wacana?. Hal ini, cerpen merupakan suatu wujud bahasa yang
dituangkan dalam bentuk tulisan, yang di dalam cerpen tersebut adanya suatu
permasalahan atau topik yang dibahas, selain itu wujud bahasa dalam bentuk
tulisan ini keberadaannya selalu menyatu dengan situasi yang dialami pak Kosim.
DAFTAR RUJUKAN
Chaer, Abdul.
2007. Linguistik Umum. Jakarta :
Rineka Cipta
Schiffrin, Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar