Sabtu, 01 Juli 2017

PRAANGGAPAN, IMPLIKATUR, DAN INFERENSI DIEKSIS



Oleh : Farida Puji M. / 146154 / 2014-B
 
A.  Pengertian Praanggapan
Menurut Nababan (2011:61), praanggapan ini berasal dari perdebatan dalam ilmu falsafah, khususnya tentang hakikat rujukan yang dirujuk oleh kata, frase, atau kalimat dan ungkapan-ungkapan rujukan. Praanggapan merupakan cabang dari kajian pragmatik yang berhubungan dengan adanya makna yang tersirat atau tambahan makna dari makna yang tersurat. Praanggapan dalam kajian pragmatik diartikan sebagai pengetahuan latar belakang yang dapat membuat suatu tindakan dalam peristiwa berbahasa. Disisi lain praanggapan dapat didefenisikan sebagai hubungan antara pembicara dan kewajaran suatu kalimat dalam konteks tertentu.
Praanggapan terdiri dari 2 bentuk. Pertama, praanggapan semantik,
praanggapan semantik merupakan praanggapan yang dapat ditarik dari pernyataan atau kalimat melalui leksikon atau kosakatanya. Misal: Pak sholeh tidak jadi berangkat kerja. Istrinya sakit. Dari kata-kata yang ada dalam pernyataan itu dapat ditarik praanggapan bahwa: Pertama, Pak Sholeh seharusnya harus berangkat kerja. Kedua, Pak Sholeh harus menjaga istrinya.
Kedua, praanggapan pragmatik. Praanggapan pragmatik adalah anggapan yang ditarik berdasarkan konteks suatu kalimat atau pernyataan itu diucapkan. Konteks disini dapat berupa situasi, pembicara, lokasi, dan lain-lain. Contoh praanggapan pragmatik : “Harganya murah meriah”, sebagai jawaban pertanyaan,” Memangnya berapa harganya?”. Praanggapan tersebut tidak dapat kita ketahui apabila konteksnya tidak kita ketahui karena mungkin kata “murah” itu berarti “mahal sekali”. Praanggapan adalah sesuatu yang dijadikan oleh pembicara sebagai dasar pembicaraan. Contoh lain dari praanggapan ialah sebagai berikut:
(1)   Kompas terbit setiap hari
(2)   Ada surat kabar Kompas
Kedua  tuturan di atas saling melengkapi. Kedua tuturan tersebut  mempermasalahkan kebenaran ada tidaknya surat kabar Kompas. Tuturan 2 menimbulkan praanggapan ada surat kabar atau tidak ada surat kabar Kompas, namun tuturan 1 menegaskan kebenaran adanya surat kabar Kompas terbukti dengan diterbitkannya surat kabar tersebut setiap harinya.

B.  Pengertian Implikatur
Secara etimologis, implikatur diturunkan dari kata implicatum dan secara nomina kata ini hampir sama dengan kata implication, yang berarti maksud, pengertian, keterlibatan. Menurut Grice (dalam Mulyana,1993:30) mengemukakan bahwa implikatur merupakan ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Sesuatu “yang berbeda” tersebut adalah maksud pembicara yang dikemukakan secara eksplisit. Dengan kata lain, implikatur adalah maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi.
Secara struktural, implikatur berfungsi sebagai jembatan/rantai yang menghubungkan antara “yang diucapkan” dengan “yang diimplikasikan”.
Menurut PWJ Nababan (1987:28) dalam Abdul Rani menyatakan bahwa implikatur berkaitan erat dengan konvensi kebermaknaan yang terjadi di dalam proses komunikasi. Konsep itu kemudian dipahami untuk menerangkan perbedaan antara hal “yang diucapkan” dengan hal “yang diimplikasikan”.
Dari pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwasanya implikatur sendiri merupakan sesuatu dinyatakan secara tersirat dalam suatu percakapan maka jelaslah implikatur merupakan tuturan tidak langsung karena memerlukan penjelasan yang lebih kongkrit, karena didalamnya mengandung maksud ujaran.
Menurut Rahmawati (2009:42) terdapat dua jenis implikatur yakni implikatur konvesional dan implikatur konversasional.  Implikatur konvensional ditentukan oleh arti konvensional kata-kata yang dipakai. Implikatur konvensional ini mengacu pada bagaimana antara proposisi satu mengimplikasi pada proposisi lainnya. Sedangkan implikatur konversasional merupakan implikatur yang mempunyai hubungan dengan fitur-fitur wacana tertentu. Fitur-fitur yang dimaksud diantaranya adalah konteks tuturan.
Keberadaan implikatur dalam suatu percakapan (wacana dialog) diperlukan antara lain untuk memberi penjelasan fungsional atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori-teori linguistik struktural, menjembatani proses komunikasi antar penutur, memberi penjelasan yang tegas dan eksplisit tentang bagaimana kemungkinan pemakai bahasa dapat menangkap pesan, walaupun hal yang diucapkan secara lahiriah berbeda dengan hal yang dimaksud, dapat menyederhanakan pemerian semantik dari perbedaan hubungan antar klausa, meskipun klausa-klausa itu dihubungkan dengan kata dan struktur yang sama, dapat menerangkan berbagai macam fakta dan gejala kebahasaan yang secara lahiriah tidak berkaitan.
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan implikatur, yaitu: implikatur bukan merupakan bagian dari tuturan, implikatur bukanlah akibat logis tuturan, dan sebuah tuturan memungkinkan memiliki lebih dari satu implikatur, dan itu bergantung pada konteksnya.
Contoh implikatur: (1) Bapak datang, jangan menangis.
Maksud tuturan (1) tidak hanya bermaksud memberi informasi bahwa sang ayah sudah datang dari tempat tertentu. Penutur bermaksud mengingatkan mitra tutur bahwa sang ayah bersifat keras dan kejam itu akan melakukan sesuatu terhadapnya apabila ia masih terus menangis. Tuturan itu mengimplikasikan bahwa sang ayah seorang yang keras dan kejam, sering marah-marah pada anaknya yang sedang menangis.

C.  Pengertian Inferensi
Pengertian inferensi yang umum ialah proses yang harus dilakukan pembaca (pendengar) untuk melalui makna harfiah tentang apa yang ditulis (diucapkan) sampai pada yang diinginkan oleh saorang penulis (pembicara). Dapat pula dikatakan bahwa inferensi ialah membuat simpulan berdasarkan ungkapan dan konteks penggunaannya. Dalam membuat inferensi perlu dipertimbangkan implikatur. Implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan (eksplikatur).
Inferensi atau kesimpulan sering harus dibuat sendiri oleh pendengar atau pembicara karena dia tidak mengetahui apa makna yang sebenarnya yang dimaksudkan oleh pembicara/penulis. Karena jalan pikiran pembicara mungkin saja berbeda dengan jalan pikiran pendengar, mungkin saja kesimpulan pendengar meleset atau bahkan salah sama sekali. Apabila ini terjadi maka pendengar harus membuat inferensi lagi. Inferensi terjadi jika proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat pada tuturan yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis. Pendengar atau pembaca dituntut untuk mampu memahami informasi (maksud) pembicara atau penulis. Misalnya, Pohon yang di tanam pak Budi setahun lalu hidup. Dari hal tersebut dapat secara langsung kita menarik kesimpulan (inferensi) bahwa: pohon yang ditanam pak budi setahun yang lalu tidak mati.
Contoh inferensi:
Fina : Saya baru bertemu dengan Dea.
Tina : Oh, Dea kawan kita SMA itu?
Fina : Bukan, tapi Dea kawan kita SMP dulu.
Tina : Dea yang gemuk itu?
Fina: Bukan, bukan Dea yang gemuk, tapi Dea yang kurus.
Tina : Oh, ya saya tahu.  
Contoh tersebut menggambarkan bahwa pada awalnya Tina salah dalam mengambil kesimpulan tentang Dea. Setelah mendapat beberapa keterangan mengenai Dea yang dimaksud, barulah Tina dapat menyimpulkan Dea yang manakah yang bertemu dengan Fina. Untuk mencapai pada simpulan yang benar, Tina memerlukan penjelasan yang lengkap.

D.  Pengertian Deiksis
Deiksis merupakan salah satu bagian dalam cabang ilmu pragmatik yang membicarakan penunjukan, baik yang menunjukkan persona, ruang, maupun waktu (Mustika, 2012:6). Deiksis dianggap sebagai suatu cara yang sangat mudah untuk diteliti, hubungan antara bahasa dan konteks yang tercermin terdapat di dalam bahasa itu sendiri (Merentik, 2016:6). Deiksis juga dipandang sebagai kata yang memiliki rujukan atau acuan yang berubah-ubah bergantung pada pembicara saat mengutarakan ujaran yang dipengaruhi oleh konteks dan situasi saat tuturan berlangsung (Astuti, 2015:19).
Merentik (2016:6) membagi deiksis menjadi lima bentuk, yaitu:
1.      Deiksis orang. Deiksis orang yakni pemberian bentuk menurut peran peserta dalam peristiwa bahasa saat ujaran tersebut diucapkan. Terdapat beberapa kategori dalam dieksis orang:
a.       Kategori orang pertama, yakni kategori rujukan penutur kepada dirinya atau kelompok yang melibatkan dirinya.
b.      Kategori orang kedua, yakni pemberian bentuk rujukan penutur kepada seseorang atau lebih yang melibatkan dirinya.
c.       Kategori orang ketiga, yakni pemberian bentuk rujukan kepada orang yang bukan pembicara atau pendengar ujaran itu.
2.      Deiksis tempat. Deiksis tempat yakni pemberian bentuk pada lokasi menurut peserta dalam peristiwa bahasa.
3.      Deiksis waktu. Deiksis waktu yakni pemberian bentuk pada rentang waktu teretentu saat suatu ujaran diujarkan.
4.      Deiksis wacana. Deiksis wacana yakni rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau sedang dikembangkan.
5.      Deiksis sosial. Deiksis sosial yakni pemberian bentuk menurut perbedaan sosial yang merujuk pada peran peserta, khususnya aspek-aspek hubungan sosial antara pembicara atau pembicara dengan beberapa rujukan.

DAFTAR RUJUKAN
Merentik, Silvia Hariyati. 2016. Deiksis dalam Film Cinderella : Analisis Pragmatik. Diunduh dari ejournal.unsrat.ac.id Pada hari Senin, 17 April 2017.
Mustika, Heppy Leo. 2012. Analisis Deiksis Persona dalam Ujaran Bahasa Rusia (Suatu Tinjauan Pragmatik). Diunduh dari jurnal.unpad.ac.id Pada hari Senin, 17 April 2017.
Rahmawati, Fadhilah. 2009. Implikatur Komik Doraemon : Kajian Pragmatik. Diunduh dari eprints.uns.ac.id Pada hari Minggu, 16 April 2017.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar