Oleh : Farida Puji M. / 146154 / 2014-B
A.
Pengertian Praanggapan
Menurut Nababan (2011:61), praanggapan
ini berasal dari perdebatan dalam ilmu falsafah, khususnya tentang hakikat rujukan yang
dirujuk oleh kata, frase, atau kalimat dan ungkapan-ungkapan rujukan. Praanggapan merupakan cabang dari kajian
pragmatik yang berhubungan dengan adanya makna yang tersirat atau tambahan
makna dari makna yang tersurat.
Praanggapan dalam kajian pragmatik diartikan sebagai pengetahuan latar belakang
yang dapat membuat suatu tindakan dalam peristiwa berbahasa. Disisi lain
praanggapan dapat didefenisikan sebagai hubungan antara pembicara dan kewajaran
suatu kalimat dalam konteks tertentu.
Praanggapan terdiri dari 2 bentuk. Pertama, praanggapan semantik,
praanggapan semantik merupakan praanggapan yang dapat ditarik dari pernyataan atau kalimat melalui leksikon atau kosakatanya. Misal: Pak sholeh tidak jadi berangkat kerja. Istrinya sakit. Dari kata-kata yang ada dalam pernyataan itu dapat ditarik praanggapan bahwa: Pertama, Pak Sholeh seharusnya harus berangkat kerja. Kedua, Pak Sholeh harus menjaga istrinya.
praanggapan semantik merupakan praanggapan yang dapat ditarik dari pernyataan atau kalimat melalui leksikon atau kosakatanya. Misal: Pak sholeh tidak jadi berangkat kerja. Istrinya sakit. Dari kata-kata yang ada dalam pernyataan itu dapat ditarik praanggapan bahwa: Pertama, Pak Sholeh seharusnya harus berangkat kerja. Kedua, Pak Sholeh harus menjaga istrinya.
Kedua, praanggapan pragmatik. Praanggapan pragmatik adalah anggapan yang
ditarik berdasarkan konteks suatu kalimat atau pernyataan itu diucapkan.
Konteks disini dapat berupa situasi, pembicara, lokasi, dan lain-lain. Contoh
praanggapan pragmatik : “Harganya murah meriah”, sebagai jawaban pertanyaan,” Memangnya
berapa harganya?”. Praanggapan tersebut tidak dapat kita ketahui apabila
konteksnya tidak kita ketahui karena mungkin kata “murah” itu berarti “mahal
sekali”. Praanggapan adalah sesuatu yang dijadikan oleh pembicara sebagai dasar
pembicaraan. Contoh lain dari praanggapan ialah sebagai berikut:
(1) Kompas
terbit setiap hari
(2) Ada
surat kabar Kompas
Kedua tuturan di atas saling melengkapi. Kedua tuturan tersebut mempermasalahkan
kebenaran ada tidaknya surat kabar Kompas. Tuturan 2 menimbulkan praanggapan
ada surat kabar atau tidak ada surat kabar Kompas, namun tuturan 1 menegaskan
kebenaran adanya surat kabar Kompas terbukti dengan diterbitkannya surat kabar
tersebut setiap harinya.
B. Pengertian Implikatur
Secara etimologis, implikatur diturunkan dari kata implicatum dan secara nomina kata ini
hampir sama dengan kata implication,
yang berarti maksud, pengertian, keterlibatan. Menurut Grice (dalam Mulyana,1993:30)
mengemukakan bahwa implikatur merupakan ujaran yang menyiratkan sesuatu yang
berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Sesuatu “yang berbeda” tersebut
adalah maksud pembicara yang dikemukakan secara eksplisit. Dengan kata lain,
implikatur adalah maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati yang
tersembunyi.
Secara struktural, implikatur berfungsi sebagai
jembatan/rantai yang menghubungkan antara “yang diucapkan” dengan “yang
diimplikasikan”.
Menurut PWJ Nababan (1987:28) dalam Abdul Rani menyatakan bahwa implikatur berkaitan erat dengan konvensi kebermaknaan yang terjadi di dalam proses komunikasi. Konsep itu kemudian dipahami untuk menerangkan perbedaan antara hal “yang diucapkan” dengan hal “yang diimplikasikan”.
Menurut PWJ Nababan (1987:28) dalam Abdul Rani menyatakan bahwa implikatur berkaitan erat dengan konvensi kebermaknaan yang terjadi di dalam proses komunikasi. Konsep itu kemudian dipahami untuk menerangkan perbedaan antara hal “yang diucapkan” dengan hal “yang diimplikasikan”.
Dari pendapat para ahli di atas maka dapat
disimpulkan bahwasanya implikatur sendiri merupakan sesuatu dinyatakan
secara tersirat dalam suatu percakapan maka jelaslah implikatur merupakan
tuturan tidak langsung karena memerlukan penjelasan yang lebih kongkrit, karena
didalamnya mengandung maksud ujaran.
Menurut Rahmawati (2009:42) terdapat
dua jenis implikatur yakni implikatur konvesional dan implikatur
konversasional. Implikatur
konvensional ditentukan oleh arti konvensional kata-kata yang dipakai.
Implikatur konvensional ini mengacu pada bagaimana antara proposisi satu
mengimplikasi pada proposisi lainnya. Sedangkan implikatur
konversasional merupakan implikatur yang mempunyai hubungan dengan fitur-fitur
wacana tertentu. Fitur-fitur yang dimaksud diantaranya adalah konteks tuturan.
Keberadaan implikatur dalam suatu percakapan
(wacana dialog) diperlukan antara lain untuk memberi penjelasan fungsional atas
fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori-teori linguistik
struktural, menjembatani proses komunikasi antar penutur, memberi penjelasan
yang tegas dan eksplisit tentang bagaimana kemungkinan pemakai bahasa dapat
menangkap pesan, walaupun hal yang diucapkan secara lahiriah berbeda dengan hal
yang dimaksud, dapat menyederhanakan pemerian semantik dari perbedaan hubungan
antar klausa, meskipun klausa-klausa itu dihubungkan dengan kata dan struktur
yang sama, dapat menerangkan berbagai macam fakta dan gejala kebahasaan yang secara
lahiriah tidak berkaitan.
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan berkaitan
dengan implikatur, yaitu: implikatur bukan merupakan bagian dari tuturan, implikatur
bukanlah akibat logis tuturan, dan sebuah tuturan memungkinkan memiliki lebih
dari satu implikatur, dan itu bergantung pada konteksnya.
Contoh implikatur: (1) Bapak datang, jangan menangis.
Maksud tuturan (1) tidak
hanya bermaksud memberi informasi bahwa sang ayah sudah datang dari tempat
tertentu. Penutur bermaksud mengingatkan mitra tutur bahwa sang ayah bersifat
keras dan kejam itu akan melakukan sesuatu terhadapnya apabila ia masih terus
menangis. Tuturan itu mengimplikasikan bahwa sang ayah seorang yang keras dan
kejam, sering marah-marah pada anaknya yang sedang menangis.
C. Pengertian Inferensi
Pengertian inferensi yang umum ialah proses yang
harus dilakukan pembaca (pendengar) untuk melalui makna harfiah tentang apa
yang ditulis (diucapkan) sampai pada yang diinginkan oleh saorang penulis
(pembicara). Dapat pula dikatakan bahwa inferensi ialah membuat simpulan
berdasarkan ungkapan dan konteks penggunaannya. Dalam membuat inferensi perlu
dipertimbangkan implikatur. Implikatur adalah makna tidak langsung atau makna
tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan (eksplikatur).
Inferensi atau kesimpulan sering harus dibuat
sendiri oleh pendengar atau pembicara karena dia tidak mengetahui apa makna
yang sebenarnya yang dimaksudkan oleh pembicara/penulis. Karena jalan pikiran
pembicara mungkin saja berbeda dengan jalan pikiran pendengar, mungkin saja
kesimpulan pendengar meleset atau bahkan salah sama sekali. Apabila ini terjadi
maka pendengar harus membuat inferensi lagi. Inferensi terjadi jika proses yang
harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memahami makna yang secara
harfiah tidak terdapat pada tuturan yang diungkapkan oleh pembicara atau
penulis. Pendengar atau pembaca dituntut untuk mampu memahami informasi (maksud)
pembicara atau penulis. Misalnya, Pohon yang di tanam pak Budi setahun lalu
hidup. Dari hal tersebut dapat secara langsung kita menarik kesimpulan
(inferensi) bahwa: pohon yang ditanam pak budi setahun yang lalu tidak mati.
Contoh inferensi:
Fina : Saya baru bertemu dengan Dea.
Tina : Oh, Dea kawan kita SMA itu?
Fina : Bukan, tapi Dea kawan kita SMP dulu.
Tina : Dea yang gemuk itu?
Fina: Bukan, bukan Dea yang gemuk, tapi Dea yang kurus.
Tina : Oh, ya saya tahu.
Contoh tersebut menggambarkan bahwa pada awalnya
Tina salah dalam mengambil
kesimpulan tentang Dea.
Setelah mendapat beberapa keterangan mengenai Dea yang
dimaksud, barulah Tina dapat
menyimpulkan Dea yang manakah yang bertemu
dengan Fina. Untuk mencapai pada
simpulan yang benar, Tina
memerlukan penjelasan yang lengkap.
D. Pengertian Deiksis
Deiksis merupakan salah satu
bagian dalam cabang ilmu pragmatik yang membicarakan penunjukan, baik yang
menunjukkan persona, ruang, maupun waktu (Mustika, 2012:6). Deiksis dianggap
sebagai suatu cara yang sangat mudah untuk diteliti, hubungan antara bahasa dan
konteks yang tercermin terdapat di dalam bahasa itu sendiri (Merentik, 2016:6).
Deiksis juga dipandang sebagai kata yang memiliki rujukan atau acuan yang
berubah-ubah bergantung pada pembicara saat mengutarakan ujaran yang
dipengaruhi oleh konteks dan situasi saat tuturan berlangsung (Astuti, 2015:19).
Merentik (2016:6) membagi
deiksis menjadi lima bentuk, yaitu:
1.
Deiksis
orang. Deiksis orang yakni pemberian bentuk menurut peran peserta dalam
peristiwa bahasa saat ujaran tersebut diucapkan. Terdapat beberapa kategori
dalam dieksis orang:
a.
Kategori
orang pertama, yakni kategori rujukan penutur kepada dirinya atau kelompok yang
melibatkan dirinya.
b.
Kategori
orang kedua, yakni pemberian bentuk rujukan penutur kepada seseorang atau lebih
yang melibatkan dirinya.
c.
Kategori
orang ketiga, yakni pemberian bentuk rujukan kepada orang yang bukan pembicara
atau pendengar ujaran itu.
2.
Deiksis
tempat. Deiksis tempat yakni pemberian bentuk pada lokasi menurut peserta dalam
peristiwa bahasa.
3.
Deiksis
waktu. Deiksis waktu yakni pemberian bentuk pada rentang waktu teretentu saat
suatu ujaran diujarkan.
4.
Deiksis
wacana. Deiksis wacana yakni rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana
yang telah diberikan atau sedang dikembangkan.
5.
Deiksis
sosial. Deiksis sosial yakni pemberian bentuk menurut perbedaan sosial yang
merujuk pada peran peserta, khususnya aspek-aspek hubungan sosial antara
pembicara atau pembicara dengan beberapa rujukan.
DAFTAR RUJUKAN
Merentik, Silvia Hariyati. 2016. Deiksis dalam Film Cinderella : Analisis
Pragmatik. Diunduh dari ejournal.unsrat.ac.id Pada hari Senin, 17
April 2017.
Mustika, Heppy Leo. 2012. Analisis Deiksis Persona dalam Ujaran Bahasa Rusia (Suatu Tinjauan
Pragmatik). Diunduh dari jurnal.unpad.ac.id Pada hari Senin, 17
April 2017.
Rahmawati, Fadhilah. 2009. Implikatur Komik Doraemon : Kajian Pragmatik. Diunduh dari eprints.uns.ac.id
Pada hari Minggu, 16 April 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar